Senin, 18 April 2011

Melestarikan Danau dengan Nilai-nilai Tradisi

Keterbatasan pengelolaan situ oleh pemerintah daerah, ditambah rendahnya partisipasi masyarakat menjaga lingkungan, mengakibatkan tempat penampungan air raksasa itu tidak berfungsi optimal. Pendekatan etnohidrolik dipandang mampu menangani masalah ini.

Situ atau danau merupakan wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan. Airnya berasal dari air tanah atau air permukaan sebagai bagian dari siklus hidrologis dan merupakan salah satu bentuk kawasan lindung.

Situ terbentuk alami dari sisa rawa atau lahan basah. Beberapa situ alami memunyai mata air, sehingga tidak kering di musim kemarau.

Sedangkan situ buatan berasal dari dam pengendali sistem irigasi sawah, bekas galian lio-bata (pembuatan batu-bata), bekas galian pasir, atau waduk resisten yang dibuat sebagai pengendali banjir.

Menurut Peneliti Utama bidang Hidrologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sutopo Purwo Nugroho, situ merupakan tipe ekosistem perairan tawar yang relatif tergenang dan dangkal dengan ukuran kecil. Situ juga merupakan kesatuan sistem drainase dan tata aliran air setempat.

Sebagian besar situ tersebut, lanjut Sutopo, saat ini kondisinya sangat memprihatinkan karena mengalami penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas. Akibatnya, banyak situ tidak dapat difungsikan dan dimanfaatkan dengan optimal karena faktor fisik dan nonfisik.

Faktor fisik antara lain pengurangan luasan situ karena alih fungsi, sedimentasi, kurangnya pemeliharaan sehingga dipenuhi gulma air dan rerumputan, juga kerusakan bangunan prasarana.

Sedangkan faktor nonfisik berupa penyalahgunaan wewenang pemberian izin pemanfaatan situ, pemberian hak atas tanah pada kawasan situ, penyerobotan secara ilegal.

Selain itu, kerusakan situ karena keterbatasan kemampuan pengelolaan situ oleh pemerintah daerah. Kurangnya partisipasi masyarakat serta kurangnya kesamaan persepsi terhadap perundang-undangan.

Dari hasil observasi Sutopo pada 2006, Jakarta Pusat setidaknya memiliki tiga situ, yakni Situ Taman Ria Remaja, Situ Lembang, dan Waduk Kebon Melati.

Bergeser ke Jakarta Utara, terdapat 12 situ. Di antaranya Situ Rawa Kendal, Situ Rawa Rorotan, Situ Pademangan, Waduk Marunda, Waduk PIK I, Waduk PIK II, Waduk Muara Angke, Waduk Pluit, Waduk Sunter I, Sunter II, Sunter III, dan Sunter Barat.

Berpindah ke Jakarta Barat, terdapat Situ Rawa Kepa dan Waduk Empang Bahagia Grogol. Merapat ke Jakarta Timur, ada 17 situ, di antaranya Situ Rawa Penggilingan, Situ Rawa Segaran, dan Situ Dirgantara.

Di Jakarta Selatan ada 10 situ, misalnya Situ Cisarua Ragunan dan Situ Rawa Ulujami.
Semua situ di daerah hulu Jakarta ini kondisinya relatif baik dengan fungsi sebagaimana mestinya, yaitu penampung air, resapan, pengendali banjir, pengolahan limbah cair. Masyarakat di sekitarnya banyak memanfaatkan situ sebagai sarana rekreasi, budi daya ikan, dan irigasi.



Strategi Pemeliharaan

Menurut Sutopo, langkah strategis perlu dilakukan sebagai perlindungan fungsi situ. Caranya lewat pengajian, penelitian intensif, dan terencana. Pasalnya, selama ini data dan informasi tentang kondisi dan status situ yang akurat di wilayah DKI Jakarta terbatas.

“Oleh sebab itu dukungan data dan informasi yang memadai dengan kapasitas penyediaan informasi terkini dan mudah di akses oleh masyarakat mutlak diperlukan,” tandas Sutopo.

Data informasi itu termasuk tentang penetapan luas dan status situ. Seperti status perlindungannya, tingkat kerusakan, dan tata guna lahannya. Hal penting lainnya terkait strategi ini, yaitu perlunya melakukan aksi kajian status dan ancaman terhadap situ dan menentukan prioritas situ-situ mana yang layak dikonservasi.

Pengamat situ dari Perhimpunan Cendekiawan Lingkungan, Adhisa Putra, menambahkan upaya pelestarian situ dapat dilakukan dengan cara menelusuri nilai-nilai tradisi masyarakat terdahulu yang memanfaatkan situ sebagai sumber kehidupan. Pasalnya, masyarakat dulu sangat arif memanfaatkan situ dari sisi ekologi, ekonomi, maupun sosial masyarakat.

Misalnya, dalam satu tahun sekali masyarakat yang tinggal di daerah situ menguras atau membersihkannya. Saat itu pula mereka memanen ikan yang berada di dalam situ. “Tradisi ini pernah terjadi di situ Ragunan, Jakarta Selatan,” ujar Adhisa.

Tidak hanya itu, dari kaca mata ilmu lingkungan, nilai-nilai tradisi yang umumnya terangkum dalam suatu produk budaya seperti foklore dapat memiliki arti penting untuk menjaga kelestarian suatu ekosistem.

Misalnya, cerita rakyat Si Japet di situ Mangga Bolong di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Si Japet adalah seorang buronan yang diyakini bersembunyi di dalam air.

Beberapa penduduk yang tinggal di sekitar situ memberi kesaksian perihal wujud Si Japet. Ada yang mengatakan seperti buaya, biawak, belut, ular, atau ikan. Tapi penduduk sepakat Si Japet adalah makhluk halus yang menghuni dan menjaga situ Mangga Bolong.

Sehingga keberadaan situ Mangga Belong meskipun berada di dekat Jakarta masih relatif terjaga kelestariannya hingga sekarang.

Menurut Kepala Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Setyo S Moersidik, pendekatan nilai-nilai tradisi yang terangkum dalam ilmu etnohidrolika tersebut dapat menguraikan permasalahan sumber daya air secara lebih utuh.

Pasalnya, dalam ilmu etnohidrolika mencakup keseluruhan ilmu tentang sumber daya air seperti, hidrologi, hidrolika, ekohidrolika, dan sosiohidrolika.

Oleh sebab itu, ilmu etnohidrolika dapat memberikan manfaat untuk mentranformasi cerita rakyat secara empiris bagi masyarakat modern. Pasalnya, salah satu ciri dari masyarakat modern dalam memercayai sesuatu harus dapat dibuktikan secara ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar